Menjelang Pemilu MK selalu Menjadi Institusi Darling bahkan setelah selesai pelaksanaan pemungutan suara MK tetap Seksi menjadi sorotan dalam penegakan sengketa pemilu. Tidak terlepas dari putusan MK tentang Proporsional Terbuka pada putusan Nomor 22-24/PUU-XVI/2008. Yang juga berimplementasi pada UU PEMILU. Sehingga dalam UU No 07 Tahun 2017 Pada pasal 168 bahwa Pemilu menggunakan system Proporsional terbuka. Seharusnya kalau mau menggugat. Gugat sebelum masuk tahapan pemilu. Sekarang tahapan pemilu sudah berjalan dari selasa 14 Juni Tahun 2022.

Mahkamah Konstitusi hadir sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan super power yang seakan akan sulit untuk dikontrol dan tidak jarang pula Mahkamah Konstitusi terlalu naïf dalam memutuskan perkara. Yang diajukan oleh pemohon atau penggugat. Hal ini tentunya menuai perdebatan dan pertanyaan di tengah-tengah publik soal kontrol kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut. Seharusnya Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan final dan mengikat yang harus dihormati. Namun, terkadang ada kendala yang dihadapi Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan atau eksekusi putusannya di lapangan. Kemudian, hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah selalu sempurna. Sudah pasti ada sejumlah hal yang membuat seorang hakim Mahkamah Konstitusi menjadi kurang teliti dalam mengambil keputusan. Selain itu, dalam pengangkatan hakim mahkamah konstitusi yang menggunakan sistem rekomendasi dari DPR itu tidak ada jaminan kenetralitasan hakim terutama dalam menangani kasus sengketa pemilu.
Berawal dari Putusan nomor 22-24/PUU-XVI/2008, MK menekankan bahwa sistem proporsional yang diterapkan dalam pemilu anggota legislatif membawa angin segar dan harapan bahwa wakil yang terpilih tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Sistem proporsional terbuka menyederhanakan mekanisme untuk menentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Oleh karena itu, aturan dalam UU pemilu (pada saat itu yang berlaku adalah UU Nomor 10 Tahun 2008, pen) yang menentukan keterpilihan calon adalah “nomor urut” dan memenuhi porsi perolehan bilangan pembagi pemilih (BPP).
Bagi MK, pengaturan demikian bertentangan dengan maksa substantif dari kedaulatan rakyat disamping juga melanggar prinsip keadilan. Sebagai ilustrasi, jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem maka dengan terpaksa calon yang mendapat suara yang lebih besar dikalahkan oleh calon yang mendapat suara sedikit, sebab calon dengan suara sedikit tersebut berada pada nomor urut lebih atas dibanding calon dengan suara yang lebih besar. Dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak, maka penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak dan bukan atas dasar nomor urut. Lebih lanjut, MK menekankan
“… Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.” (Putusan No. 22-24/PUU-XVI/2008, hlm. 105)
Seiring dengan berjalannya waktu dan dinamika perkembangan politik terdapat perubahan signifikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa antar caleg pada pemilu 2014. MK mengambil inisiatif untuk menyelesaikan perkara ini pada penyelenggaraan pemilu 2014 sebab tidak ada mekanisme dan lembaga yang menanganinya. Meski banyak gagasan dan wacana akan penyelesaian sengketa antar caleg secara internal melalui Mahkamah Partai, namun hal demikian tidak memberi jaminan dalam menyelesaikan masalah secara keseluruhan terutama dalam koridor hukum. Karakteristik Mahkamah Partai adalah ibarat lembaga arbitrase atau mediasi yang menyelesaikan konflik internal melalui jalur perundingan untuk mendapatkan kesepakatan antara para pihak yang bersengketa. Namun, bila salah satu pihak atau, bahkan, keduanya tidak mencapai kata sepakat maka perlu ada jalur hukum dalam upaya pencarian jalan keluar. Dasar inilah yang kemudian menyebabkan MK untuk mengambil inisiatif menyediakan jalur hukum dalam penyelesaian sengketa hasil pemilu antar caleg yang tidak bisa diselesaikan secara internal partai.
Pada pemilu Tidak semua partai politik mengajukan sengketa antar caleg. Ada 5 partai yang tidak mengajukan sengketa antar caleg dalam bundel permohonannya, yaitu: (1) Partai Nasional Demokrat; (2) Partai Keadilan Sejahtera; (3) Partai Hati Nurani Rakyat; (4) Partai Damai Aceh; dan (5) Partai Nasional Aceh. Selain itu, ada beberapa partai yang mengajukan sengketa antar caleg dengan jumlah kecil, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 5 Perkara; Partai Gerakan Indonesia Raya, 6 perkara; Partai Bulan Bintang, 1 perkara dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, 2 perkara
Ada beragam alasan yang bisa dikemukakan untuk menganalisa rendahnya sengketa antar caleg yang diajukan oleh beberapa partai ini. Bisa jadi partai telah mengeluarkan kebijakan untuk menyelesaikan segala masalah sengketa hasil pemilu antar caleg dalam partainya melalui jalur internal tanpa harus menempuh meja hijau. Bila demikian adanya, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa partai telah mengefektifkan fungsi mediasi melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan maupun melalui mahkamah partai. Atau, variabel lain yang mengkhawatirkan, yaitu ketidaktahuan caleg bahwa sengketa hasil pemilu antar caleg dapat diselesaikan di MK. Sayangnya, hingga kini belum ada kajian yang menyajikan data-data yang dapat digunakan sebagai tolok ukur alasan rendahnya beberapa partai politik ini mengajukan permohonan sengketa antar caleg dalam pemilu 2014.
Begitu pula halnya bilamana alasan rendahnya sengketa antar caleg dalam beberapa partai adalah karena ketidaktahuan. Alasan ini kontradiktif dengan pola persebaran kasus sengketa pemilu yang hampir merata di seluruh daerah pemilihan di tiap tingkatnya. Penting rasanya, untuk segera melakukan penelitian mendalam yang menyelidiki serta menganalisa penyebab dibalik rendahnya pengajuan sengketa pemilu antar caleg di beberapa partai. Ditambah lagi, dengan adanya beberapa partai politik baru yang menjadi peserta pemilu 2019. Menarik untuk diteliti, kebijakan apa yang akan dikeluarkan oleh partai-partai tersebut dalam menyikapi sengketa antar caleg.
Di satu sisi, mekanisme sengketa antar caleg merupakan pelembagaan prinsip keadilan pemilu berdasarkan sistem proporsional dengan memberikan kursi kepada caleg dengan suara terbanyak dan bukan berdasarkan nomor urut yang ditentukan partai. Di lain sisi, bagi partai politik ada kekhawatiran bahwa sengketa antara caleg berpotensi membahayakan soliditas partai.
Oleh Karena itu jika seandainya konsep pemilu menggunakan proporsional tertutup, MK sudah tidak super power dan putusannya tidak bersifat final and banding. Hal ini disebabkan MK yang awalnya mengeluarkan putusan pada No 22-24/PUU-XVI/2008 Tentang Proporsional tertutup lalu dijewantahkan pada UU No 07 Tahun 2017, kini menjelang pemilu 2024 dengan tahapan yang sudah berjalan MK berulah lagi berwacana mengembalikan kondisi proporsional terbuka ke Proporsional Tertutup. awalnya MK ini hadir untuk menjadi penawar tingkat kepercayaan publik terhadap MA pada saat reformasi mengalami penurunan, kini dengan Kegamangan MK menimbulkan segudang Masalah yang sangat aneh, sehingga dengan kegamangan MK dapat menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap republik ini.
Penulis: Muhammad Hakiki (Founder Nilam Institute)
Editor: Muhammad Adib Alfarisi