Sebagai guardian of democracy (Penjaga Demokrasi), hal ini seolah putusan MK menjadi takdir masa depan bangsa 5 tahun kedepannya.Mahkamah Konstitusi adalah salah satu lembaga Negara yang selalu menjaga melody demokrasi Kita semakin baik, 25 Tahun lamanya demokrasi terbentuk dengan MK (Mahkamah Konstitusi) sebagai penopang dari tahun 2003, tidak hanya memutuskan beberapa perkara, MK (Mahkamah Konstitusi) juga termasuk lembaga konsen dengan memelihara demokrasi Indonesia agar tetap baik. juga menjaga hak konstitusional setiap warga Negara maupun substansi Demokrasi yang terjadi pada republik ini. Demokrasi yang menjadi Impian semua orang saat itu, kita mendambakan kebebasan berekspresi serta menyampaikan pendapat dengan secara aman dan tentram, kita menginginkan demokrasi yang bisa menikmati keadilan dan pembangunan kenikmatan yang sesungguhnya. kita menginginkan demokrasi dari sebuah republik yang sesungguhnya. kini terbelenggu oleh salah satu keinginan keluarga besar, dikemas dengan cukup rapi untuk membentuk lingkaran patronase kekuasaan. Sehingga membangun dinasti menjelang pilpres ini adalah sebuah keharusan. Agar bangunannya bisa dinikmati meskipun telah tidak menjabat kembali.

Hal ini menjadi pertanyaan mendasar apakah memang benar bangsa ini menghendaki demokrasi ? Apakah praktik yang berjalan juga bisa dikatakan demokrasi yang sejati ? Apakah dibenarkan oleh demokrasi membangun dinasti politik sehingga mengafirmasi hukum rimba siapa yang punya kuasa itu yang akan menang di republik ini ?
Akhir akhir ini publik tidak henti hentinya menanti putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang batasan calon usia presiden dan wakil presiden. Permohonan yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia menjadi buah perbincangan akan seperti apa MK (Mahkamah Konstitusi) dalam memutuskan Permohonan tersebut. Menanti putusan MK (Mahkamah Konstitusi) ini seolah putusan MK (Mahkamah Konstitusi) ini menjadi takdir masa depan bangsa pada 5 tahun kedepan. Hal ini disebabkan interpretasi dari putusan MK (Mahkamah Konstitusi) terdapat salah satu cara untuk memuluskan jalan anak presiden menjadi calon wakil presiden terlebih lagi ketua Mahkamah Konstitusi saat ini ada ikatan Keluarga dengan yang akan dicalonkan pada pertarungan pilpres 2024 yang akan datang.
MK (Mahkamah Konstitusi) saat ini diperkuat dengan konsep open legal policy (Hukum Yang Terbuka), kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Dalam batasan Usia calon presiden dan wakil presiden seharusnya cukup dibahas di pembentuk undang-undang yakni DPR. Jangan terlalu bersandar penuh terhadap konsep open legal policy apalagi pertama Konsep open legal policy dalam putusan Mahkamah Konstitusi belum memiliki batasan yang jelas, kedua open legal policy ini akan membuat hakim Mahkamah konstitusi terjadi tarik menarik penggunaan paradigma judicial activism dan judicial restanit sehingga tidak memiliki kepastian hukum untuk rakyat.
Jika menimbulkan ketidakpastian hukum seharusnya MK (Mahkamah Konstitusi) harus keluar dari hal tersebut. Mengingat fase tantangan MK (Mahkamah Konstitusi) tidak hanya dihadapi pada awal pemilu dalam Memutuskan PUU, akan tetapi setelah pemilu disambut oleh pilkada. Dalam putusan PUU ini kredibilitas MK (Mahkamah Konstitusi) dipertaruhkan diawal, jika MK (Mahkamah Konstitusi) sudah tidak mampu menjaga suhu politik di publik menjelang pemilu, maka dipastikan MK (Mahkamah Konstitusi) akan dihantui oleh gempa politik yang dapat merusak kredibilitas dan Kepercayaan publik terhadap MK (Mahkamah Konstitusi). kekuatan MK (Mahkamah Konstitusi) terletak pada putusan. jika putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tidak dipercaya oleh publik. Maka MK (Mahkamah Konstitusi) seperti macan ompong yang tidak punya wibawanya.
Penulis: Muhammad Hakiki (Founder Nilam Institute)
Editor: Muhammad Adib Alfarisi