Akhir-akhir melihat ketegangan di negara Indonesia telah disoroti dengan adanya Perppu Cipta Kerja yang dinilai sebagian terdapat keutungan bagi pemerintah itu sendiri maupun para pembisnis besar. Apalagi sangat disayangkan Perppu tersebut sudah disahkan, dimana-mana mahasiswa, akademisi, maupun para buruh menilai ini berakibat negatif untuk masa depan bangsa di sektor ekonomi negara, sebagian pun adanya pro dan kontra permasalahan yang cipta kerja yang pelik disahkannya
Meskipun melihat adanya kegentingan yang sifatnya memaksakan secara partisipatif, tentu ini segera disahkan yang merupakan hak subjektif presiden sebagai kepala negara, namun adanya putusan MK 138/PUU-VII/2009, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga menjadi kekosongan hukum dan tidak memadai UU yang saat ini ada, terjadinya kondisi kekosongan hukum tersebut dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan dan kebutuhan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan.

(Mahasiswa Magister FSH UIN Yogyakarta)
Jika melihat paradigma hukum ini, tentunya fakta terjadi kekosongan hukum tidak ada, apalagi pada amat putusan MK Nomor Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK Menyatakan UU 11 tahun 2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun. Artinya Perppu Cipta Kerja masih berlaku sampai dilakukan perbaikan hingga November 2023. Waktu 10 bulan sangat cukup untuk melakukan revisian bukan malah mengeluarkan Perppu UU Cipta Kerja.
Dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja ini dinilai akan berakhir buruk bagi institusi maupun lembaga negara baik antara Presiden, DPR, dan MK. Apalagi sebagai kepala negara termasuk tidak menghormati putusan MK dan juga DPR sebaliknya sebagai lembaga pembentukan dari UU tersebut yang memberikan efek tidak baik bagi masyarakat.
Tentunya pengesahan Perppu Cipta kerja ini juga akan merusak sistem legislasi sebagaimana telah diatur dalam UU 13 tahun 2022. Padahal jika dilihat dalam UU 13 tahun 2022, tidak ada ketentuan yang membolehkan Perppu dibuat dengan metode omnibus. Sebab Sementara omnibus law terdapat kelemahannya. Pertama, Perppu ini dengan metode omnibus law cenderung pragmatis dan kurang demokratis, setelah itu membatasi ruang publik dalam memberi aspirasi dan masukan dari masyarakat. Kemudian kurangnya ketelitian dan kehati-hatian dalam perumusan setiap norma pasalnya karena UU yang terdampak akan direvisi cukup banyak. Hal ini pun pada prinsipnya supremasi konstitusi takutnya ada ketidakpastian hukum akibat dominasi kepentingan egosektoral.
Sebab itu lah perlu secara Antropologi hukum melihat adanya aturan tersebut dinilai tidak sehat dan tidak baik secara sosial-ekonomi, sehingga ini diberi jangka waktu supaya perlu dibahas kembali. Sejauh ini sejak di tetapkan, kekhawatiran terus-menerus menjadi topik bahasan, namun demikian sudah terdapat gugatan pengujian Perpu ke MK. Oleh karena itu MK dalam menguji harus kehati-hatian, kritik publik maupun saran perlu didengarkan secara efektif, sebagai Langkah awal dapat menjalankan hak konstitusional yang seolah-olah dirampas dan sebagai the guardians of constitution, jika apabila pemerintah membangkang konstitusi, sudah menjadi tugas MK untuk menegakkan dan menertibkannya menjalankan sesuai amanat UU maupun secara konstitusi.
Penulis: Muhammad Adib Alfarisi