Berawal dari Judicial Review di Makamah Kontitusi terkait UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, subtansi Gugatannya penerapan Sistem Proposional Tertutup pada pemilu 2024 , menjadi isu dan topi hangat di media sosial, cetak dan televisi. Pada Laman twitter cwittan Sistem Proposional Tertutup menjadi trending topik. Perlu kita melihat bersama Sejarah Kepemiluan dengan Sistem Proposional Tertutup bukan sesuatu yang asing rekam jejaknya pada Pemilu pertama kali tahun 1955 di Orde Lama dan Orde Baru 1971, 1977, 1982,1987, 1992, dan 1997, selanjutnya Reformasi 1999 dan 2004. Kemudian Pemilu 2009-2019 kita menerapkan proposional terbuka sebagai anti tesis atas proposional tertutup, karena nilai-nilai partisipasi masyarakat pada pemilu lebih ditonjolkan, dapat dikatakan jarak antara calon legislatif konsituen/masyarakat lebih dekat. Gagasan inilah menjawab atas perubahan Sistem Kepemiluan.

Seiring perjalanan Pemilu, Sistem Proposional Terbuka tidaklah ideal dan perlu dikaji ulang kembali dengan alasanya membuat iklim politik buruk. Salah satu kritikan terhadap buruknya proposional terbuka, dari Medcom.id dalam Muhammad Revan Fauzano Makarim dan Khairul Fahm (2022), Pemilihan caleg dilakukan berlandaskan popular vote yang hanya berfokus kepada perolehan suara saja, sehingga kemenangan diraih oleh caleg yang tidak memiliki kapasitas serta tidak punya kemampuan terhadap jabatan yang mereka raih. Pada ujungnya memungkinkan bagi setiap calon akan berlomba untuk meraih simpati masyarakat dan akan menimbulkan polemik politik uang. Dampaknya tidak hanya melahirkan pemilih yang pragmatis tetapi juga menimbulkan fenomena maraknya tindakan korupsi, hal ini pun dapat mengakibatkan biaya kampanye yang sangat tinggi serta para pemilih akan cenderung memilih para calon yang kuat secara finansial yang mana hal ini dapat berakibat pada kinerja calon legislatif yang terpilih namun tidak optimal. Oleh karen itu wacana penerapan kembali sistem lama menguat pada pemilu serentak 2024.
Risan Pakaya, Yusril Katili, dan Firman Latuda (2022) menjelaskan sistem proporsional tertutup (closed-list PR) dengan mekanisme pemilihan oleh rakyat hanya pada partai. Cara kerja sistem tersebut adalah pemilih memberikan suaranya hanya dengan mencoblos gambar partai, suara partai untuk kesempatan pertama akan diberikan kepada calon nomor urut teratas. Selanjutnya pada buku pemilu dalam transisi demokrasi indonesia: Catatan isu dan Kontroversi (2018) oleh Januari Sihotang dalam CNNindonesia.com, sistem pemilihan di mana rakyat hanya memilih partai wakil rakyat ditetapkan oleh partai.
Maka dengan ini penerapan Sistem Proposional Tertutup akan lebih sederhana sistemnya berfokus pada partai politik dan mengingat pemilu kita dilakukan serentak 2024, identitas/ideologi Partai Politik lebih nampak jelas karena pada proposional terbuka melemahkan identitas/ideologi Partai Politik, tidak ada Canibalisme politik yang dilakukan oleh calon legislatif di internal partai politik, seperti pendapat dari Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago di Liputan6.com, calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan, dalam Hasil penelitian Tempo satu dekade silam, menunjukkan bahwa biaya calon anggota DPR RI dapat mencapai Rp 6 miliar (Tempo, 22/4/2013), dengan biaya politik yang besar maka akan menjaring orang-orang yang berduit untuk mendominasi kursi legislatif.
Jika dilihat secara menyeluruh kompleksitas kepemiluan Republik ini, Proposional tertutup konsep ini ada yang dapat dierima dan sulit untuk diterima, permasalahnya adalah apakah kita ingin menyederhanakan sistem kepemiluan, ingin memperkuatkan partai atau menghilangkan money politik dan mengurangi politik biaya tinggi.
Bilamana ingin menyederhakan sistem pemilu dan tidak memberatkan penyelenggara pemilu, proposional tertutup adalah jawabanya karena hanya berfokus pada perolehan suara partai politik bukan masing-masing calon di partai politik atau beberapa partai politik. Namun lain hanya jika untuk memperkuatkan identitas/ideologi partai politik mungkin bisa diterima, masing-masing partai politik akan menonjolkan identitas/ideologi pada kampanye, tapi selesai pemilu saat membentuk pemerintahan identitas/ideologi partai politik akan memudar yang dulunya ikut koalisi A akan berpindah B karena B menang “ideologi tidak seutuhnya melekat”.
Politik uang atau biaya politik tinggi ditidak dapat dihindari baik proposional tertutup dan terbuka tetapi polanysa berbeda. Hal ini seperti yang disampaikan ejournal.umm.ac.id ditulis Abd. Halim, bahwasanya sistem proporsional baik yang bersifat tertutup maupun terbuka, sama-sama mengundang seluruh elemen yang terlibat dalam politik untuk bermain duit (uang). Agen-agen politik dari level elite sampai grassroot terdorong untuk memanfaatkan sistem yang dibuat negara sebagai ladang memanen uang (capital). Politik uang akan terjadi pada internal partai politik, siapa yang besar mendanai akan mendapatkan tempat spesial, dan partai politik tetap saja didominasi keluarga, golongan dan kelompok tertentu atau nepotismen masih ada kemudian undang-undang kepemiluan No 7 Tahun 2017 perlu dipertimbangan pada pasal 327 tentang pendanaan kampanye, ada kalimat tidak boleh melebihi 2.5 milyar, sedangkan calon legislatif dan eksekutif memiliki dana kampanye yang subjektif oleh karena itu ada gap atau jarak antara dana si A si B seharusnya jelas dalam bahasanya hukum. Di lain sisi kondisi masyarakat Indonesia rata-rata tingkat ekonomi masih rendah, kesempatan pendidikan, dan mutu pendidikan masih rendah, kualitas masyarakat sangat dipertimbangkan, Oleh sebab itu uang masuk dalam politik sangat terbuka atau bisa dikatakan sistem politik kita disandingkan dengan sistem ekonomi.
Jadi untuk sekian kalinya baik proposional tertutup dan terbuka sama saja yang perlu dibenahkan atau diperkuatkan apakah Partai Politik, Masyarakat ataukah Penyelenggara, instrumen ini sangat penting sebagai penggerak sistem sebagus apapun sistem atau “out of the box system” jika tidak didukung Manusianya maka akan menjadi sebuah memimpi yang indah.
Referensi
Abd. Halim “DAMPAK SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA TERHADAP PERILAKU POLITIK
(STUDI KASUS MASYARAKAT SUMENEP MADURA DALAM PEMILIHAN LEGISLATIF 2014)” Ejournal.umm.ac.id. Volume 9, Nomor 2. (2014): 1-11
Muhammad Revan Fauzano Makarim dan Khairul Fahm “Permasalahan dan Dampak dari Implementasi Sistem Pemilu Proporsional Terbuka terhadap Sistem Politik”. JOURNAL OF SOCIAL AND POLICY ISSUE – VOL. 2 NO. 2 (2022): 51-57.
Risan Pakaya, Yusril Katili , Firman Latuda ”SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERTUTUP DALAM ANALISIS PEMILU 2024” https://ejournal.iaingorontalo.ac.id/index.php/jaspol. Volume 1, No.2, (2022): 172-182
CNN.com
liputan6.com
Penulis: Barliy Brasila (Pemuda Kabupaten Sintang)
Editor: Muhammad Adib Alfarisi